Article Detail

Belajar Mengambil Keputusan Sejak Usia TK

Para guru sibuk menyulap aula menjadi conter-conter penjualan makanan pada Rabu pagi 20/3/13. Anak-anak TK B merasa senang karena hari itu mereka boleh jajan di sekolah dengan membelanjakan uang sakunya maksimal sepuluh ribu rupiah.

Ada 11 jenis makanan yang dijual di conter antara lain; pop corn, bolu kukus, onde-onde,  bolu lapis,  telur puyuh, wafer tango, susu kedelai, susu kotak, lemper, agar-agar. Harganya berkisar antara lima ratus rupiah sampai seribu lima ratus rupiah. Mengamati perilakunya mereka sangat lucu, seperti orang dewasa yang punya banyak dhuwit berjalan berkeliling  mengamati jenis makanan yang dijual, kalau oke mereka ambil, kalau tidak oke mereka lewati. Setelah merasa puas, mereka menuju kasir untuk membayar hasil belanjanya.

Menarik  untuk dicermati  dan didalami, ternyata setiap anak punya alasan atau motivasi ketika dia memilih makanan yang dibeli.  Ketika saya bertanya kepada Lala: “Lala kenapa kamu beli bolu lapisnya banyak, apa kamu suka? “ Jawaban Lala di luar dugaan saya: “Kue ini buat oleh-oleh mama dan papa suster, soalnya mama dan papa suka kue seperti ini”.  Bagi saya jawaban itu sangat mengharukan karena anak seusia dia sudah keluar dari rasa egoisme, Lala sudah berpikir untuk  menyenangkan orang yang mereka cintai.

Ada juga anak yang belanja untuk semua anggota keluarganya dia memilih makanan yang sesuai untuk mama, papa kakak serta adiknya, baru dia untuk memilih untuk dirinya sendiri. Saya memperhatikan  Ariel  yang berkeliling sambil menenteng belanjaannya, kemudian saya tanya:” Ariel, kamu enggak beli pop corn, teman-temanmu pada beli?” Jawaban Ariel: “Suster aku tidak boleh makan gorengan, karena aku lagi batuk”. Betapa hebatnya anak-anak kita meskipun tanpa kehadiran orang tua, mereka dapat mengambil keputusan secara  bertanggung jawab. Ada juga anak yang sengaja hanya membatasi belanjanya hanya lima ribu rupiah karena sisanya yang lima ribu rupiah mau ditabung.

Kiranya sudah tidak zamannya lagi kita menganggap remeh, bahkan menyebalkan tingkah laku kita tanpa kita mau tahu apa yang mereka pikirkan, rasakan. Andaikata kita mau bersabar untuk menggali pengalaman mereka maka kita akan banyak belajar dari mereka. Sudah tidak zamannya kalau memberi warna daun selalu hijau karena anak punya alasan. Ketika anak mewarnai daun dengan warna coklat karena yang mereka bayangkan adalah daun kering yang sudah jatuh dari pohon. Marilah kita perlakukan mereka secara arif dan bijaksana karena mereka adalah titipan Tuhan. (Sr. Rosiana, CB)
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment